Langsung ke konten utama

Analisis Autokorelasi Spasial dalam Fenomena Belum Menikah di Indonesia pada Tahun 2022

Analisis Autokorelasi Spasial dalam Fenomena Belum Menikah

di Indonesia pada Tahun 2022

 

Pernikahan adalah salah satu institusi sosial yang penting dalam kehidupan masyarakat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terjadi penurunan jumlah pernikahan di Indonesia atau dengan kata lain terjadi peningkatan fenomena belum kawin di Indonesia. Belum kawin merujuk pada status pemuda yang belum mengalami pernikahan atau belum menikah pada usia tertentu.Pemuda, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2009, merujuk kepada individu, baik laki-laki maupun perempuan, yang memiliki kewarganegaraan Indonesia dan berusia antara 16 hingga 30 tahun.

 

Gambar 1. Tren Jumlah Pernikahan di Indonesia. (2018-2022)

 

Dapat terlihat dari Gambar 1. bahwa terjadi penurunan jumlah pernikahan di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Penurunan tren pernikahan dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah perubahan nilai dan preferensi individu terhadap pernikahan. Masyarakat modern cenderung lebih fokus pada pencapaian pendidikan, karier, dan pengembangan diri pribadi. Mereka mungkin menunda pernikahan demi mencapai stabilitas finansial atau memprioritaskan pencapaian tujuan pribadi lainnya sebelum memutuskan untuk menikah. Selain itu, perubahan dalam pola hubungan antar pribadi juga berperan dalam penurunan pernikahan, dengan semakin banyak orang memilih untuk hidup bersama tanpa mengikat status pernikahan.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), penurunan jumlah pernikahan atau peningkatan persentase pemuda yang belum menikah dapat dijelaskan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kebijakan usia minimal perkawinan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Kebijakan ini mempengaruhi keputusan pemuda untuk menunda pernikahan hingga mencapai usia yang ditentukan oleh undang-undang.

Meningkatnya jumlah individu yang belum menikah juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah perubahan sosial dan budaya yang mempengaruhi pandangan terhadap pernikahan. Beban ekonomi yang tinggi, perubahan peran gender, dan perubahan norma sosial dapat membuat individu lebih memilih untuk menunda atau tidak menikah sama sekali. Beberapa juga memilih untuk hidup sendiri atau memprioritaskan karir dan pengembangan diri pribadi.

                                       

Gambar 2. Peta Persebaran Persentase Laki-Laki Belum Kawin di Indonesia. (2022)

            

Berdasarkan Gambar 2. dapat diperoleh bahwa semakin terang warna, maka persentase laki-laki yang belum kawin semakin kecil. Sebaliknya, semakin gelap warnanya, maka persentase laki-laki yang belum kawin semakin besar. Analisis Persebaran Persentase Laki-Laki Belum Kawin di Indonesia dilakukan dengan menggunakan software R dan diperoleh hasil sebagai berikut.

 

                                                 

Gambar 3. Gambar Persebaran Persentase Laki-Laki Belum Kawin di Indonesia. (2022)

 

Berdasarkan Gambar 3. dapat terlihat bahwa sepuluh provinsi dengan persentase laki-laki yang belum kawin terbanyak adalah Jawa Barat, Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Maluku Utara, DKI Jakarta, Kalimantan Utara, Jawa Timur, Papua, dan Kalimantan Barat.

                                       

Gambar 4. Peta Persebaran Persentase Perempuan Belum Kawin di Indonesia. (2022)

 

Berdasarkan Gambar 4. dapat diperoleh bahwa semakin terang warna, maka persentase perempuan yang belum kawin semakin kecil. Sebaliknya, semakin gelap warnanya, maka persentase perempuan yang belum kawin semakin besar. Analisis Persebaran Persentase Perempuan Belum Kawin di Indonesia dilakukan dengan menggunakan software R dan diperoleh hasil sebagai berikut.

 

Gambar 5. Gambar Persebaran Persentase Perempuan Belum Kawin di Indonesia. (2022)

 

Berdasarkan Gambar 5. dapat terlihat bahwa sepuluh provinsi dengan persentase perempuan yang belum kawin terbanyak adalah Jawa Barat, Maluku Utara, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, Jawa Timur, Papua, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat.

Gambar 6. Peta Persebaran Persentase Pemuda Belum Kawin di Indonesia. (2022)

Berdasarkan hasil pengolahan menggunakan software QGIS pada gambar di atas, terlihat bahwa provinsi yang memiliki persentase laki-laki dan perempuan belum kawin rendah (ditandai dengan warna putih) adalah Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah. Provinsi yang memiliki persentase laki-laki dan perempuan belum kawin tinggi (ditandai dengan warna hitam) adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Maluku Utara, dan Papua. Provinsi yang memiliki persentase laki-laki dan perempuan belum kawin sedang (ditandai dengan warna ungu muda) adalah Riau, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan. Provinsi yang memiliki persentase laki-laki belum kawin rendah dan perempuan belum kawin sedang (ditandai dengan warna pink) adalah Bengkulu, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Papua Barat. Provinsi yang memiliki persentase laki-laki belum kawin rendah dan perempuan belum kawin tinggi (ditandai dengan warna merah) adalah Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Provinsi yang memiliki persentase laki-laki belum kawin sedang dan perempuan belum kawin rendah (ditandai dengan warna biru muda) adalah Jambi, DIY, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, dan Maluku. Tidak ada provinsi yang memiliki persentase laki-laki belum kawin sedang dan perempuan belum kawin tinggi (ditandai dengan warna ungu tua). Tidak ada provinsi yang memiliki persentase laki-laki belum kawin tinggi dan perempuan belum kawin rendah (ditandai dengan warna biru denim). Provinsi yang memiliki persentase laki-laki belum kawin tinggi dan perempuan belum kawin sedang (ditandai dengan warna biru tua) adalah Kalimantan Utara.

 

                                              

Gambar 7. Morans’I Scatterplot Laki-Laki

 

Hasil perhitungan Global Morans’I dan Local Morans’I diperoleh koefisien korelasi Morans’I yang sama, yaitu sebesar 0,237.

Koefisien Morans’I lebih besar dibandingkan dengan nilai ekspektasinya , maka dapat dikatakan bahwa terdapat autokorelasi spasial positif (pola yang mengelompok dan memiliki kesamaan karakteristik pada lokasi yang berdekatan) pada fenomena laki-laki belum kawin di Indonesia pada tahun 2022.

Distribusi Morans’I dengan titik-titik yang tersebar di kuadran I, II, III, dan IV ditunjukkan pada Gambar 7. Sebaran nilaifenomena laki-laki belum kawin di Indonesia pada tahun 202terbanyak pada kuadran III sehingga dapat diinterpretasikan terjadi pengelompokkan fenomena laki-laki belum kawin. Analisis pencar Moran dilakukan dengan menggunakan software GeoDa dan diperoleh hasil sebagai berikut:

Gambar 8. LISA Significant Map Laki-Laki

Berdasarkan hasil Significant Map Local Morans’I di atas, dengan signifikansi 5%, terdapat 4 Provinsi (Sumatera Utara, Banten, Jawa Tengah, dan Sulawesi Utara) yang memiliki nilai signifikan yang artinya provinsi tersebut memiliki autokorelasi dengan provinsi di sekitarnya. 

 

Gambar 9. LISA Cluster Map Laki-Laki

Berdasarkan Gambar 9, dari empat provinsi yang signifikan, dua diantaranya (Sumatera Utara dan Jawa Tengah) tergolong dalam kuadran I (high-high). Wilayah dengan fenomena laki-laki belum kawin tinggi dikelilingi oleh wilayah dengan fenomena laki-laki belum kawin tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pertama, faktor ekonomi, di mana kondisi ekonomi suatu wilayah dapat mempengaruhi tingkat laki-laki belum menikah. Jika wilayah tersebut mengalami kesulitan ekonomi, tingkat pengangguran tinggi, atau kurangnya peluang kerja yang memadai, perempuan mungkin memilih untuk menunda pernikahan atau mengutamakan pendidikan dan karier sebelum menikah. Kedua, faktor urbanisasi, wilayah dengan urbanisasi yang tinggi cenderung memiliki tingkat laki-laki belum menikah yang lebih tinggi. Faktor-faktor seperti kesempatan kerja yang lebih baik, mobilitas sosial, dan pengaruh perkotaan dapat mempengaruhi keputusan perempuan untuk menikah atau menunda pernikahan. Ketiga, perubahan sosial dan pergeseran gaya hidup juga dapat mempengaruhi keputusan laki-laki untuk menikah. Laki-laki mungkin lebih memilih untuk fokus pada pendidikan, karier, atau pengembangan diri sebelum menikah, yang dapat mengakibatkan tingkat laki-laki belum kawin yang lebih tinggi.

Satu diantaranya (Banten) tergolong dalam kuadran II (low-high). Wilayah dengan fenomena laki-laki belum kawin rendah dikelilingi oleh wilayah dengan fenomena laki-laki belum kawin tinggi. 

Satu diantaranya (Sulawesi Utara) tergolong dalam kuadran III (low-low). Wilayah dengan fenomena laki-laki belum kawin rendah dikelilingi oleh wilayah dengan fenomena laki-laki belum kawin rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal di antaranya pertama, faktor sosial dan budaya memainkan peran penting dalam keputusan laki-laki untuk menikah. Jika wilayah tersebut memiliki norma dan nilai-nilai yang menghargai pernikahan pada usia muda, serta tekanan sosial yang kuat untuk menikah, maka tingkat laki-laki belum kawin cenderung rendah. Hal ini dapat terjadi jika wilayah tersebut memiliki tradisi yang konservatif atau adat istiadat yang menekankan pentingnya menikah pada usia muda. Kedua, akses terhadap pendidikan yang baik dapat mempengaruhi keputusan laki-laki untuk kawin. Jika wilayah tersebut memiliki akses terbatas terhadap pendidikan atau rendahnya kualitas pendidikan, laki-laki mungkin memiliki keterbatasan dalam mencapai tujuan pendidikan dan memilih untuk menikah pada usia yang lebih muda. Ketiga, wilayah-wilayah dengan fenomena laki-laki belum kawin rendah mungkin memiliki akses yang baik terhadap layanan kesehatan reproduksi, informasi tentang kontrasepsi, dan dukungan dalam mengambil keputusan terkait kehidupan seksual dan pernikahan. Hal ini dapat memberikan laki-laki kontrol atas tubuh dan kehidupan mereka, sehingga mempengaruhi keputusan pernikahan. Keempat, perubahan sosial, seperti pergeseran nilai-nilai gender dan perubahan dalam tuntutan sosial terhadap laki-laki, serta perkembangan teknologi dan akses mudah terhadap informasi, dapat memengaruhi persepsi dan pilihan laki-laki terkait pernikahan. Wilayah-wilayah dengan fenomena laki-laki belum menikah rendah mungkin lebih terbuka terhadap perubahan sosial dan teknologi ini.

 

 

Gambar 10. Morans’I Scatterplot Perempuan

Hasil perhitungan Global Morans’I dan Local Morans’I diperoleh koefisien korelasi Morans’I yang sama, yaitu sebesar 0,142.

Koefisien Morans’I lebih besar dibandingkan dengan nilai ekspektasinya, maka dapat dikatakan bahwa terdapat autokorelasi spasial positif (pola yang mengelompok dan memiliki kesamaan karakteristik pada lokasi yang berdekatan) pada fenomena perempuan belum kawin di Indonesia pada tahun 2022.

Distribusi Morans’I dengan titik-titik yang tersebar di kuadran I, II, III, dan IV ditunjukkan pada Gambar 10. Sebaran nilai fenomena perempuan belum kawin di Indonesia pada tahun 202terbanyak pada kuadran III sehingga dapat diinterpretasikan terjadi pengelompokkan fenomena perempuan belum kawin. Analisis pencar Moran dilakukan dengan menggunakan software GeoDa dan diperoleh hasil sebagai berikut:

 

Gambar 11. LISA Significant Map Perempuan

Berdasarkan hasil Significant Map Local Morans’I di atas, dengan signifikansi 5%, terdapat 2 Provinsi (Sumatera Utara dan Sumatera Selatan) yang memiliki nilai signifikan yang artinya provinsi tersebut memiliki autokorelasi dengan provinsi di sekitarnya. Dengan signifikansi 0,1%, terdapat 1 Provinsi (Banten) yang memiliki nilai signifikan yang artinya provinsi tersebut memiliki autokorelasi dengan provinsi di sekitarnya.

 

Gambar 12. LISA Cluster Map Perempuan

Berdasarkan Gambar 12, dari tiga provinsi yang signifikan, satu diantaranya (Sumatera Utara) tergolong dalam kuadran I (high-high). Wilayah dengan fenomena perempuan belum kawin tinggi dikelilingi oleh wilayah dengan fenomena perempuan belum kawin tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pertama, faktor ekonomi, di mana kondisi ekonomi suatu wilayah dapat mempengaruhi tingkat perempuan belum menikah. Jika wilayah tersebut mengalami kesulitan ekonomi, tingkat pengangguran tinggi, atau kurangnya peluang kerja yang memadai, perempuan mungkin memilih untuk menunda pernikahan atau mengutamakan pendidikan dan karier sebelum menikah. Kedua, faktor urbanisasi, wilayah dengan urbanisasi yang tinggi cenderung memiliki tingkat perempuan belum menikah yang lebih tinggi. Faktor-faktor seperti kesempatan kerja yang lebih baik, mobilitas sosial, dan pengaruh perkotaan dapat mempengaruhi keputusan perempuan untuk menikah atau menunda pernikahan. Ketiga, perubahan sosial dan pergeseran gaya hidup juga dapat mempengaruhi keputusan perempuan untuk menikah. Perempuan mungkin lebih memilih untuk fokus pada pendidikan, karier, atau pengembangan diri sebelum menikah, yang dapat mengakibatkan tingkat perempuan belum kawin yang lebih tinggi.

Satu diantaranya (Banten) tergolong dalam kuadran II (low-high). Wilayah dengan fenomena perempuan belum kawin rendah dikelilingi oleh wilayah dengan fenomena perempuan belum kawin tinggi. 

Satu diantaranya (Sumatera Selatan) tergolong dalam kuadran III (low-low). Wilayah dengan fenomena perempuan belum kawin rendah dikelilingi oleh wilayah dengan fenomena perempuan belum kawin rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal di antaranya pertama, faktor sosial dan budaya memainkan peran penting dalam keputusan perempuan untuk menikah. Jika wilayah tersebut memiliki norma dan nilai-nilai yang menghargai pernikahan pada usia muda, serta tekanan sosial yang kuat untuk menikah, maka tingkat perempuan belum kawin cenderung rendah. Hal ini dapat terjadi jika wilayah tersebut memiliki tradisi yang konservatif atau adat istiadat yang menekankan pentingnya menikah pada usia muda. Kedua, akses terhadap pendidikan yang baik dapat mempengaruhi keputusan perempuan untuk kawin. Jika wilayah tersebut memiliki akses terbatas terhadap pendidikan atau rendahnya kualitas pendidikan, perempuan mungkin memiliki keterbatasan dalam mencapai tujuan pendidikan dan memilih untuk menikah pada usia yang lebih muda. Ketiga, wilayah-wilayah dengan fenomena perempuan belum kawin rendah mungkin memiliki akses yang baik terhadap layanan kesehatan reproduksi, informasi tentang kontrasepsi, dan dukungan dalam mengambil keputusan terkait kehidupan seksual dan pernikahan. Hal ini dapat memberikan perempuan kontrol atas tubuh dan kehidupan mereka, sehingga mempengaruhi keputusan pernikahan. Keempat, perubahan sosial, seperti pergeseran nilai-nilai gender dan perubahan dalam tuntutan sosial terhadap perempuan, serta perkembangan teknologi dan akses mudah terhadap informasi, dapat memengaruhi persepsi dan pilihan perempuan terkait pernikahan. Wilayah-wilayah dengan fenomena perempuan belum menikah rendah mungkin lebih terbuka terhadap perubahan sosial dan teknologi ini.



- Rumah, 15 Juli 2023 

- Dibuat karena gabut 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

pencapaian Sem 5

 Sabtu, 19 Agustus 2023 13.50 WIB, kereta aku bisa nurunin koper sendiri anjay 😭😭 padahal bawanya berat bgtttt. Aku bawa perlengkapan kos kek sabun, dll. Dan ternyata aku bisa nurunin koper sendiri. Bangga wehh. Sebenernya ragu mau nurunin sendiri krn takut ga kuat (iyalah badan w kerempeng, kopernya berat poll). Selain itu, w juga takut kejungkel krn ga kuat menahan beban koper. Trus w juga takut kopernya kena orang. TAPI TERNYATA ENGGA GES. I DID IT!!! PENCAPAIAN SEMESTER 5 HAHAAH

RK Mamera

 Hari ini deadline RK mamera terus bagianku kampanye sama publikasi pimiri. Setiap kegiatan, ada PJnya 2. Kampanye aku sama deting. Publikasi aku sama Seli. Publikasi aman. Tinggal kampanyenya ini yang sbsjskkajs aku dah up di drive 2 hari lalu, bikin rundown, revisi rundown, detingnya blm ngapa2in anjir. Sebel bgt. Padahal malem ini deadlinenya. Aku dah badmood bgt 😭😭 aku WA juga blm dibales. Ya masa semua aku yg ngerjain? bodo amat detingnya tak suruh bikin ranggar. Males bgt padahal baru bikin RK, blm ekskusi hdehh cpek. Pgn nangis, tapi masih terlalu awal bgt:((